BAB
I
PENDAHULUAN
A
LATAR BELAKANG
Untuk hidup didunia dan kesejahteraannya di ahirat,
yang allah turunkan melalui rasulnya yang berupa alqur’an dan hadis, karena
dalil- dalil atau nas-nas yang ada dalam al-quran dan hadis terbatas jumlahnya
sedangkan peristiwa yang terjadi semakin bertambah sesuai dengan perkembangan
jumlah manusia yang setiap hari bertambah sehingga peristiwa yang terjadi
menjadi tidak terbatas.
Dari masalah- masalah yang belum ada nasnya Kemudian dimasukkannya hukum –hukum yang disepakati oleh para sahabat nabi (di ijma’ ) sehingga oleh jumhurul ulama’ disepakati bahwa salah satu suber- sumber syariat islam adalah ijma’
Karena syariat itu adalah hukum –hukum yang telah dinyatakan dan ditetapkan oleh allah sebagai peraturan hidup manusia untuk diimani ,diikuti dan dilaksanakan dalam kehidupannya, maka kita perlu untuk mengetauhui apa yang di maksud ijma’.
Dari masalah- masalah yang belum ada nasnya Kemudian dimasukkannya hukum –hukum yang disepakati oleh para sahabat nabi (di ijma’ ) sehingga oleh jumhurul ulama’ disepakati bahwa salah satu suber- sumber syariat islam adalah ijma’
Karena syariat itu adalah hukum –hukum yang telah dinyatakan dan ditetapkan oleh allah sebagai peraturan hidup manusia untuk diimani ,diikuti dan dilaksanakan dalam kehidupannya, maka kita perlu untuk mengetauhui apa yang di maksud ijma’.
B.
RUMUSAN MASALAH
A
Pengertian
ijma’
B
Rukun
ijma’
C
Kehujjahan
ijma’
D
Macam-macam
kehujjahan
C.
TUJUAN PEMBELAJARAN
Maksud dan tujuan kami dalam penyusunan makalah ini adalah untuk
mempermudah memahami ijma’ dalam amalan manusia.
BAB
II
AL-IJMA’
C.
PENGERTIAN
IJMA’
Ijma` menurut
bahasa Arab berarti kesepakatan atau sependapat tentang sesuatu hal, seperti
perkataan seseorang yang berati “kaum itu telah sepakat (sependapat)
tentang yang demikian itu.”
Menurut
istilah ijma, ialah kesepakatan mujtahid ummat Islam tentang hukum syara dari
peristiwa yang terjadi setelah Rasulullah SAW meninggal dunia. Sebagai contoh
ialah setelah Rasulullah SAW meninggal dunia diperlukan pengangkatan seorang
pengganti beliau yang dinamakan khalifah. Maka kaum muslimin yang ada pada
waktu itu sepakat untuk mengangkat seorang khalifah dan atas kesepakatan
bersama pula diangkatlah Abu Bakar RA sebagai khalifah pertama. Sekalipun pada
permulaannya ada yang kurang menyetujui pengangkatan Abu Bakar RA itu, namun
kemudian semua kaum muslimin menyetujuinya. Kesepakatan yang seperti ini dapat
dikatakan ijma.
v Dasar hukum ijma`
Dasar hukum
ijma berupa al-Qur’an, al-Hadits dan akal pikiran.
ü Al-Qur`an
Allah SWT
berfirman:
$pkr'¯»t
tûïÏ%©!$#
(#þqãYtB#uä
(#qãèÏÛr& ©!$# (#qãèÏÛr&ur tAqߧ9$# Í<'ré&ur
ÍöDF{$# óOä3ZÏB
(
bÎ*sù
÷Läêôãt»uZs?
Îû
&äóÓx« çnrãsù
n<Î)
«!$# ÉAqߧ9$#ur bÎ)
÷LäêYä.
tbqãZÏB÷sè?
«!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ÌÅzFy$# 4
y7Ï9ºs
×öyz ß`|¡ômr&ur ¸xÍrù's?
ÇÎÒÈ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah
Rasul-Nya dan ulil amri diantara kamu.” (an-Nisâ’: 59)
Perkataan amri
yang terdapat pada ayat di atas berarti hal, keadaan atau urusan yang
bersifat umum meliputi urusan dunia dan urusan agama. Ulil amri dalam urusan
dunia ialah raja, kepala negara, pemimpin atau penguasa, sedang ulil amri dalam
urusan agama ialah para mujtahid.
Dari ayat di
atas dipahami bahwa jika para ulil amri itu telah sepakat tentang sesuatu
ketentuan atau hukum dari suatu peristiwa, maka kesepakatan itu hendaklah
dilaksanakan dan dipatuhi oleh kaum muslimin.
Firman AIlah
SWT:
(#qßJÅÁtGôã$#ur
È@ö7pt¿2 «!$# $YèÏJy_ wur (#qè%§xÿs?
4
(#rãä.ø$#ur
|MyJ÷èÏR «!$# öNä3øn=tæ øÎ) ÷LäêZä.
[ä!#yôãr& y#©9r'sù tû÷üt/ öNä3Î/qè=è%
Läêóst7ô¹r'sù
ÿ¾ÏmÏFuK÷èÏZÎ/ $ZRºuq÷zÎ) ÷LäêZä.ur
4n?tã $xÿx©
;otøÿãm z`ÏiB
Í$¨Z9$# Nä.xs)Rr'sù $pk÷]ÏiB 3
y7Ï9ºxx.
ßûÎiüt6ã
ª!$# öNä3s9 ¾ÏmÏG»t#uä
÷/ä3ª=yès9 tbrßtGöksE
ÇÊÉÌÈ
Artinya: “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah
dan janganlah kamu bercerai-berai.” (Ali Imran: 103)
Ayat ini
memerintahkan kaum muslimin bersatu padu, jangan sekali-kali bercerai-berai.
Termasuk dalam pengertian bersatu itu ialah berijma (bersepakat)
dan dilarang bercerai-berai, yaitu dengan menyalahi ketentuan-ketentuan yang
telah disepakati oleh para mujtahid.
Firman Allah
SWT:
`tBur È,Ï%$t±ç
tAqߧ9$# .`ÏB Ï÷èt/ $tB
tû¨üt6s? ã&s! 3yßgø9$# ôìÎ6Ftur uöxî È@Î6y
tûüÏZÏB÷sßJø9$#
¾Ï&Îk!uqçR $tB
4¯<uqs? ¾Ï&Î#óÁçRur
zN¨Yygy_ (
ôNuä!$yur #·ÅÁtB ÇÊÊÎÈ
Artinya: “Dan barangsiapa yang menantang Rasul setelah jelas
kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang yang
beriman, Kami biarkan ia berkuasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu
dan Kami masukan ia ke dalam jahannam dan jahannam itu seburuk-buruk tempat
kembali.” (an-Nisa: 115)
Pada ayat di
atas terdapat perkataan sabîlil mu`minîna yang berarti jalan
orang-orang yang beriman. Jalan yang disepakati orang-orang beriman dapat
diartikan dengan ijma`, sehingga maksud ayat ialah: “barangsiapa yang tidak
mengikuti ijma` para mujtahidin, mereka akan sesat dan dimasukkan ke dalam
neraka.”
ü AI-Hadits
Bila para
mujtahid telah melakukan ijma` tentang hukum syara’ dari suatu peristiwa atau
kejadian, maka ijma` itu hendaklah diikuti, karena mereka tidak mungkin
melakukan kesepakatan untuk melakukan kesalahan apalagi kemaksiatan dan dusta,
sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
Artinya: “umatku tidak akan
bersepakat untuk melakukan kesalahan.” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi)
ü Akal pikiran
Setiap ijma`
yang dilakukan atas hukum syara`, hendaklah dilakukan dan dibina atas asas-asas
pokok ajaran Islam. Karena itu setiap mujtahid dalam berijtihad hendaklah
mengetahui dasar-dasar pokok ajaran Islam, batas-batas yang telah ditetapkan
dalam berijtihad serta hukum-hukum yang telah ditetapkan. Bila ia berijtihad
dan dalam berijtihad itu ia menggunakan nash, maka ijtihadnya tidak boleh
melampaui batas maksimum dari yang mungkin dipahami dari nash itu. Sebaliknya
jika dalam berijtihad, ia tidak menemukan satu nashpun yang dapat dijadikan
dasar ijtihadnya, maka dalam berijtihad ia tidak boleh melampaui kaidah-kaidah
umum agama Islam, karena itu ia boleh menggunakan dalil-dalil yang bukan nash,
seperti qiyas, istihsan dan sebagainya. Jika semua mujtahid telah melakukan
seperti yang demikian itu, maka hasil ijtihad yang telah dilakukannya tidak
akan jauh menyimpang atau menyalahi al-Qur’an dan al-Hadits, karena semuanya
dilakukan berdasar petunjuk kedua dalil ltu. Jika seorang mujtahid boleh
melakukan seperti ketentuan di atas, kemudian pendapatnya boleh diamalkan,
tentulah hasil pendapat mujtahid yang banyak yang sama tentang hukum suatu
peristiwa lebih utama diamalkan.
B. RUKUN-RUKUN IJMA’
Dari definisi dan dasar hukum ijma' di atas, maka ulama ushul fiqh
menetapkan rukun-rukun ijma' sebagai berikut:
1. Harus ada beberapa orang mujtahid dikala
terjadinya peristiwa dan para mujtahid itulah yang melakukan kesepakatan (menetapkan
hukum peristiwa itu.
2. Yang melakukan kesepakatan itu hendaklah seluruh
mujtahid yang ada dalam dunia Islam.
3. Kesepakatan
itu harus dinyatakan secara tegas oleh setiap mujtahid bahwa ia sependapat
dengan mujtahid-mujtahid yang lain tentang hukum (syara') dari suatu peristiwa
yang terjadi pada masa itu.
4. Kesepakatan itu hendaklah merupakan kesepakatan yang bulat dari
seluruh mujtahid. Seandainya terjadi suatu kesepakatan oleh sebahagian besar
mujtahid yang ada, maka keputusan yang demikian belum pasti ke taraf ijma’.
Ijma’ yang demikian belum dapat dijadikan sebagai hujjah syari’ah.
C. KEHUJJAHAN
Status
kehujjahan dan kedudukannya dalam syari’at. Kebanyakan ulama menetapkan bahwa
ijma’ dapat dijadikan hujjah dan sumber hukum Islam dalam menetapkan hukum
dengan nilai kehujjahan yang bersifat zhanny. Sedangkan golongan Syi’ah
memandang bahwa ijma’ ini sebagai hijjah yang harus diamalkan, Namun lebih
lanjut, kalangan Syi’ah tidak menerima ijma’ sebagai hujjah, dengan alasan
karena pembuat hukum menurut keyakinan mereka adalah iman yang mereka anggap
ma’shum (terhindar dari dosa).
Untuk
menguatkan pendapatnya ini, jumhur mengemukakan beberapa ayat Al-Qur’an dan
Hadits Nabi, diantaranya :
1.
Q.S Al-Nisa, ayat 59 :
$pkr'¯»t
tûïÏ%©!$#
(#þqãYtB#uä
(#qãèÏÛr& ©!$# (#qãèÏÛr&ur tAqߧ9$# Í<'ré&ur
ÍöDF{$# óOä3ZÏB
(
bÎ*sù
÷Läêôãt»uZs?
Îû
&äóÓx« çnrãsù
n<Î)
«!$# ÉAqߧ9$#ur bÎ)
÷LäêYä.
tbqãZÏB÷sè?
«!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ÌÅzFy$# 4
y7Ï9ºs
×öyz ß`|¡ômr&ur ¸xÍrù's?
ÇÎÒÈ
2. Hadits Nabi yang artinya : “Umatku tidak akan berkumpul
melakukan kesalahan (H.R.al-Tirmidzi)
“ menurut redaksi hadits lain, artinya : “ saya memohon kepada Allah agar
umatku tidak sepakat melakukan kesalahan lalu Allah mengabulkannya (H.R.Ahmad
bin Hambal dan al-Thabari)”.
Apabila
mujtahid telah sepakat terhadap suatu ketetapan hukum suatu peristiwa atau
masalah, maka mereka wajib ditaati oleh umat. Hukum yang disepakati itu adalah
hasil pendapat para mujtahid umat Islam, kerenanya pada hakikatnya hukum ini
adalah hukum umat yang dibicarakan oleh mujtahid dan ijma’ ini menempati
tingkat ketiga sebagai hukum syar’i, setelah Al-Qur’an dan Hadits.
4.
Kemungkinan terjadinya
Ijma’ Jumhur ulama berpendapat bahwa ijma’ mungkin dapat terlaksana dan memang
telah terjadi dalam kenyataan. Umpamanya pengangkatan Abu Bakar menjadi
khalifah setelah wafatnya Nabi ditetapkan dengan ijma’, demikian juga haramnya
lemak babi dan lain-lain hukum furu’ sebagaimana yang tersebar dalam
kitab-kitab fiqih.
Ulama yang berpendapat tidak mungkin terjadinya ijma’ melihat dari segi sulitnya mencapai kata sepakat diantara sekian banyak ulama mujtahid, sedangkan ulama yang menyatakan mungkin terjadinya ijma’ melihat dari segi secara teoritis memang dapat berlaku meskipun sulit terlaksana secara praktis.
Para ulama ushul fiqih klasik dan modern telah
membahas persoalan kemungkinan terjadinya ijma’. Mayoritas ulama klasik
mengatakan tidaklah sulit untuk melakukan ijma’, bahkan secara aktual ijma’ itu
telah ada. Mereka mencontohkan hukum-hukum yang telah disepakati , seperti
kesepakatantentang pembagian harta waris bagi nenek sebesar seperenam dari
harta waris dan larangan menjual makanan yang belum ada ditangan penjual.
Adapun ijma’ dalam pandangan ulama ushul fiqih kontemporer, seperti Abu Zahrah, ‘Abdul Wahhab Khallaf, dan Wahbah Zuhaili, mengatakan bahwa ijma’ yang mungkin terjadi hanyalah dizaman sahabat, karena para sahabat masih berada pada satu daerah. Adapun dimasa sesudahnya, untuk melakukan ijma’ tidak mungkin, karena luasnya wilayah Islam dan tidak mungkin mengumpulkan seluruh ulama pada suatu tempat. Zakiyuddin Sya’ban mengatakan bahwa apabila didapati dalam kitab-kitab fiqih ungkapan ijma’, maka yang mereka maksud kemungkinan ijma’ sukuti atau ijma’ kebanyakan ulama, bukan ijma’ sebagaimana yang didefenisiskan oleh para ahli ushul fiqih.
Ulama yang berpendapat tidak mungkin terjadinya ijma’ melihat dari segi sulitnya mencapai kata sepakat diantara sekian banyak ulama mujtahid, sedangkan ulama yang menyatakan mungkin terjadinya ijma’ melihat dari segi secara teoritis memang dapat berlaku meskipun sulit terlaksana secara praktis.
Adapun ijma’ dalam pandangan ulama ushul fiqih kontemporer, seperti Abu Zahrah, ‘Abdul Wahhab Khallaf, dan Wahbah Zuhaili, mengatakan bahwa ijma’ yang mungkin terjadi hanyalah dizaman sahabat, karena para sahabat masih berada pada satu daerah. Adapun dimasa sesudahnya, untuk melakukan ijma’ tidak mungkin, karena luasnya wilayah Islam dan tidak mungkin mengumpulkan seluruh ulama pada suatu tempat. Zakiyuddin Sya’ban mengatakan bahwa apabila didapati dalam kitab-kitab fiqih ungkapan ijma’, maka yang mereka maksud kemungkinan ijma’ sukuti atau ijma’ kebanyakan ulama, bukan ijma’ sebagaimana yang didefenisiskan oleh para ahli ushul fiqih.
- MACAM-MACAM IJMA’
Macam-macam ijma’. Adapun ijma’ ditinjau dari
cara-cara terjadinya atau cara menghasilkannya terbagi menjadi dua bagian,
yaitu :
- Ijma’ Sharih, yaitu kesepakatan para mujtahid pada
suatu waktu terhadap hukum suatu kejadian dengan menyajikan pendapat
masing-masing secara jelas yang dilakukan dengan dengan cara memberi
fatwa atau mempraktekkannya.
- Ijma’ Sukuti, yaitu sebagian mujtahid menyatakan
pendapatnya dengan jelas dari hukum suatu peristiwa dengan memfatwakannya
atau mempraktekkannya, sedangkan sebagian mujtahid yang lain tidak
menyatakan persetujuannya dan tidak pula menentangnnya.
Ijma’ sharih merupakan ijma’ yang hakiki, sekaligus dijadikan sebagai hujjah syar’iyah. Pendapat tersebut dikemukakan oleh jumhur ulama. Sedangkan ijma’ sukuti adalah merupakan ijma’ i’tibari (relatif) lantaran mujtahid yang tidak memberi tanggapan belum tentu menunjukkan pada sikap setuju. Dengan demikian tidak menjamin adanya kesepakatan atau ijma’, yang akibatnya selalu dipertentangkan kehujjahannya. Kemudian jumhur ulama berpendapat bahwa ijma’ sukuti tidak bisa dkatakan sebagai hujjah, disamping ijma’ sukuti itu anya merupakan pendapat sebagian mujtahid.
Sedangkan ditinjau dari segi qathi’ atau zhanni dalalah hukumnya juga
terbagi menjadi dua, yaitu :
1. Ijma’ Qathi’ Dilalah, yakni hukumnya telah dipastikan dan tidak
ada jalan lain untuk mengeluarkan hukum yang bertentangan, serta tidak boleh
mengadakan ijtihad terhadap hukum syara’ yang telah ditetapkan oleh ijma’ itu
(Ijma’ Sharih/Qath’i).
2. Ijma’ Zhanii Dalalah, yakni hukumnya diduga kuat mengenai suatu
kejadian, oleh sebab itu masih memungkinkan adanya ijtihad, sebab hasil ijtihad
bukan merupakan pendapat seluruh mujtahid (Ijma’ sukuti).
1. Ijma’ Qath’i, yaitu ijma’ yang diketahui terjadinya diantara
umat ini secara pasti.
2.
Ijma’ Zhanni, yaitu
ijma’ yang tidak diketahui kecuali dengan cara menelaah dan meneliti.
Ijma’ (kesepakatan) ulama ini dapat dibagi menjadi tiga cara, yaitu
1. Dengan Ucapan (qauli), yaitu kesepakatan berdasarkan pendapat
yang dikeluarkan para mujtahid yang diakui sah dalam suatu masalah.
2. Dengan Perbuatan (fi’li), yaitu kesepakatan para mujtahid dalam
mengamalkan sesuatu.
3. Dengan Diam (sukuti), yaitu apabila tidak ada diantara para
mujtahid yang membantah terhadap pendapat satu atau dua mujtahid lainnya dalam
suatu masalah.
Dalam kitab-kitab fiqh terdapat
pula beberapa macam ijma’ yang dihubungkan dengan masa terjadi, tempat terjadi
atau orang yang melaksanakannya. Ijma`-ijma` itu ialah:
1.
Ijma`sahabat, yaitu ijma`
yang dilakukan oleh para sahabat Rasulullah SAW;
2.
Ijma`khulafaurrasyidin,
yaitu ijma` yang dilakukan oleh Khalifah Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali bin
Abi Thalib. Tentu saja hal ini hanya dapat dilakukan pada masa ke-empat orang
itu hidup, yaitu pada masa Khalifah Abu Bakar. Setelah Abu Bakar meninggal
dunia ijma` tersebut tidak dapat dilakukan lagi;
3.
Ijma`shaikhan, yaitu
ijma`yang dilakukan oleh Abu Bakar dan Umar bin Khattab;
4.
Ijma`ahli Madinah, yaitu
ijma` yang dilakukan oleh ulama-ulama Madinah. Ijma` ahli Madinah merupakan
salah satu sumber hukum Islam menurut Madzhab Maliki, tetapi Madzhab Syafi`i
tidak mengakuinya sebagai salah satu sumber hukum Islam;
5.
Ijma` ulama Kufah, yaitu
ijma` yang dilakukan oleh ulama-ulama Kufah. Madzhab Hanafi menjadikan ijma`
ulama Kufah sebagai salah satu sumber hukum Islam.
Objek ijma’ Obyek ijma' ialah semua peristiwa atau kejadian yang tidak
ada dasarnya dalarn al-Qur'an dan al-Hadits, peristiwa atau kejadian yang
berhubungan dengan ibadat ghairu mahdhah (ibadat yanng tidak langsung ditujukan
kepada Allah SWT) bidang mu'amalat, bidang kemasyarakatan atau semua hal-hal
yang berhubungan dengan urusan duniawi tetapi tidak ada dasarnya dalam
al-Qur'an dan al-Hadits.
BAB III
PENUTUP
A
KESIMPULAN
Ijma’ menurut bahasa adalah azam dan ittifaq(kesepakatan). Sedangkan
menurut istilah yang sering dipakai oleh kebanyakan ulama adalah : Status
kehujjahan dan kedudukannya dalam syari’at, yaitu Kebanyakan ulama menetapkan
bahwa ijma’ dapat dijadikan hujjah dan sumber hukum Islam dalam menetapkan
hukum, dengan dalil dari Al-Quran dan Sunnah.
Kemungkinan terjadinya Ijma’, yaitu Jumhur ulama berpendapat bahwa ijma’
mungkin dapat terlaksana dan memang telah terjadi dalam kenyataan. Umpamanya
pengangkatan Abu Bakar menjadi khalifah setelah wafatnya Nabi ditetapkan dengan
ijma’, demikian juga haramnya lemak babi dan lain-lain.
Macam-macam ijma’, yaitu : Adapun ijma’ ditinjau dari cara-cara
terjadinya atau cara menghasilkannya terbagi menjadi dua bagian, yaitu : Ijma’
Sharih,
Ijma’ Sukuti, Sedangkan ditinjau dari segi qathi’ atau zhanni dalalah hukumnya juga terbagi menjadi dua, yaitu : Ijma’ Qathi’ Dilalah, Ijma’ Zhanii Dalalah, Ada lagi lagi yang membagi ijma’ menjadi dua macam, yaitu : Ijma’ Qath’i, Ijma’ Zhanni, Ijma’ (kesepakatan) ulama ini dapat dibagi menjadi tiga cara, yaitu : Dengan Ucapan (qauli), Dengan Perbuatan (fi’li), Dengan Diam (sukuti),
Ijma’ Sukuti, Sedangkan ditinjau dari segi qathi’ atau zhanni dalalah hukumnya juga terbagi menjadi dua, yaitu : Ijma’ Qathi’ Dilalah, Ijma’ Zhanii Dalalah, Ada lagi lagi yang membagi ijma’ menjadi dua macam, yaitu : Ijma’ Qath’i, Ijma’ Zhanni, Ijma’ (kesepakatan) ulama ini dapat dibagi menjadi tiga cara, yaitu : Dengan Ucapan (qauli), Dengan Perbuatan (fi’li), Dengan Diam (sukuti),
- SARAN
Mengingat manusia tidak luput dari kesalahan, makalah
yang kami susun inipun masih banyak kesalahan dan kekeliruan. Oleh karena itu,
kami mengharapkan saran dari masyarakat pembaca yang bersifat membangun demi
kesempurnaan makalah ini. Kepada Dosen pengajar diharapkan bimbingan lebih
untuk mengingatkan mutu dan kwalitas mahasiswa PAI pada khususnya didalam
mengembangkan ilmutafsir demi terwujudnya hubungan mahasiswa dengan masyarakat.
DAFTAR
PUSTAKA
Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsmani. Ushul
Fiqih. Jogjakarta
: Media Hidayah. 2008.
Syekh Ali bin Muhammad Al-Jurjani. At-Ta’rifat. Haromain. Syarifuddin, Amir.
Prof.Dr. Ushul Fiqih jilid I. Ciputat
: Logos. 1997.
Wahhab Khallaf, Abdul. Prof.
Dr. (alih bahasa : Prof. KH. Masdar Helmy). Ilmu Ushul Fiqih. Bandung : Gema Risalah Press. 1997.
Yahya, Mukhtar.Prof. Dr.dan Prof. Drs. Fatchurrahman. Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqih Islam.
Bandung :
Al-Ma’arif. 1993.
Suparta.Drs. dan Drs. Djedjen Zainuddin. Fiqih . Semarang
: Toha Putra. 2004.
Haroen, Nasrun.Dr. MA. Ushul Fiqih
I. Ciputat : Logos. 1997